Ada Apa dengan NU?

Memasuki dua abadnya, organisasi berlambang jagad ini diterpa isu-isu miring, yang berujung gaduh, resikonya adalah bagi nahdliyin yang awam bisa saja goyah, lebih parahnya bisa su’udzon kepada Kiai-kiai NU. Tentu bagi pembenci NU menjadi bola liar yang bisa digiring dan ditendang seenaknya.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi di NU?
Bagaimana kita bertindak?
Melalui artikel ini, setidaknya saya akan ‘sedikit’ membagi sudut pandang tentang NU yang ramai saat ini.

Setidaknya ada tiga pemberitaan yang lumayan masif  dan berisik akhir-akhir ini:
1. Ada Nahdliyin yang sambang ke Israel
2. Ada yang membuat keresahan (Maqoliii Hasidii)
3. belum lagi polemik tambang yang belum padam

Jadi begini teman-teman, ciri khas NU itu meliputi fikroh (pemikiran), amaliyah (amalan), dan harokah (pergerakan/ organisasi).
Nahdliyin yang kafah (sejati) ya yang bisa ber-NU melalui tiga cara itu.

Jangan kaget ada yang mengaku NU, mau tahlilan, kerap sowan kiai, tapi tidak mau diajak berorganisasi secara struktural, brarti dia hanya ber NU secara fikrah dan amaliyah saja, harokahnya kurang.

Adapula pengurus NU, entah Banom ataupun Lembaganya, tapi tidak pernah keliatan ikut acara Manaqib, Tahlilan males, mauludan aras-arasen. Berarti Amaliyah-nya yang kurang, meskipun secara harokahnya NU tulen.

Nah yang sering dijumpai adalah organisasi yang jelas-jelas Amaliyah-nya NU, ya tahlilan, ya mauludan, tapi nasionalisme-nya kurang, malah mengusung khilafah, brarti mereka fikrah dan harokahnya beda dengan NU. Meksipun amalannya sama. Mereka juga Aswaja. d

Menanggapi Nahdliyin yang ke Israel kemarin, nyatanya jelas-jelas bertentangan dengan pemikiran PBNU dan Nahdliyin secara umum, berarti lima cendekiawan kemarin secara Harokah dan Fikrah-nya perlu dipertanyakan.

Lalu bagaimana dengan Mama Ghufron? Yappp, beliau lumayan problematik, Kitab-kitab yang dipelajari di Pesantrennga memang Pesantren banget, NU tulen, namun sayang beberapa amaliah personal Mama Ghufron mengenai bahasa hewan, ketemu bidadari bahkan malaikat itu bikin resah netizen.

Mama Ghufron ini Harokahnya NU (menurut sumber beliau mustasyar ditingkat ranting), Fikrohnya juga sesuai NU (semangat NKRI). tapi amaliyahna melenceng jauh dari NU.

Mengenai Tambang bagaimana? nah itu bagian dari harokah NU, pergerakan dan kebijakan NU sebagai organisasi. Mau di organisasi manapun, kebijakannya tentu menuai pro dan kontra.

Apabila kebijakan PBNU menurut temen-temen tidak sesuai, ingat jangan benci NU-nya. Karena lebih luas lagi NU ada dua unsur, yaitu Jam’iyah (Struktur Organisasi/ PBNU) dan Jama’ah (isi dan esensi NU/ Warga NU).

Jadi kalau teman-teman melihat PBNU salah, bukan berarti lantas membenci NU, karena NU itu cakupannya luas. Yang jelas apabila kita melihat hal-hal yang janggal mengenai NU, melihat orang yang saleh tapi berbuat salah, entah itu warga atau pengurusnya, tidak ada alasan yang benar untuk menghujat. Karena kita diajari sikap untuk Tabayun, klarifikasi dan tentu dengan akhlakul karimah.

Maka sebagai Nahdliyin muda yang masih militan-militannya, ber-NU-lah dengan bermutu. Semangat berorganisasi, khidmat beramaliyah, dan fikrohnya tidak melenceng dari Aswaja dan NKRI.

Gimana masih ngerasa ‘something wrong’ dengan NU?
atau masih ragu untuk ber-NU?

@elnahrowi

 

KH. Mas’ud Adnan Sebut Pentingnya Santri untuk Menulis

Aktivis Jurnalistik Nahdlatul Ulama, KH. Masud Adnan berkesempatan mengisi materi di forum MPJ FEST 22 yang dilaksanakan di Masjid Kampus IKHAC Pacet, Mojokerto (24/12/22). Beliau menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan jurnalistik dan tulis menulis. Ia menuturkan betapa pentingnya seorang santri untuk membiasakan menulis, karena menulis merupakan tradisi suci para ulama zaman dahulu.

“Saya sangat mengapresiasi terhadap apa yang telah dilakukan oleh teman-teman Media Pondok Jatim. Saya ingatkan kembali, seorang santri harus semangat menulis, karena menulis tergolong sebagai tradisi suci para ulama. Coba kita tengok Imam Ghozali, Imam Syafi’i, kemudian KH. Hasyim Asy’ari dan banyak ulama lainnya memiliki banyak karya lantaran beliau-beliau rajin menulis,” tutur KH. Mas’ud.

Beliau juga bercerita mengenai kondisi di zaman 70-an, dimana terjadi krisis pemikiran terlebih di kalangan organisasi Nahdlatul Ulama’. Kemudian muncul seseorang yang bernama KH. Abdurahman Wahid, yang lebih akrab dipanggil Gus Dur. Gus Dur seorang ulama intelektual hebat. Beliau juga rajin menulis beberapa artikel dan menulis biografi para ulama. Bisa dibilang tonggak kemajuan intelektual Nahdliyin, ditandai dengan hadirnya Gus Dur.

“Tahun 70-an di kalangan Nahdliyin minim para intelektual. Kemudian muncul Gus Dur, seorang ulama yang terkenal sebagai ilmuwan hebat. Jadi gus-gus itu bisa terangkat karena nilai-nilai intelektual Gus Dur yang sederhana,” imbuh beliau.

KH. Mas’ud sendiri sebelum terkenal dengan karya tulisnya telah melewati usaha-usaha yang luar biasa. Beliau rajin dan istiqomah membuat artikel maupun karya tulis. Saking semangatnya menulis, beliau juga mendapatkan rezeki dari tulisannya itu.

“Saya ini anak dari petani, berkat rajin menulis, dulu dapat honor pertama dari Jawa Pos 27.500, sementara uang kiriman saya cuman 10.000 jadi surprise yang luar biasa. Jadi kalau sampean nulis tidak dimuat-muat media massa jangan patah semangat. Terus rajin menulis, karena itu juga bagian dari dakwah,” tambah KH. Mas’ud.

Terakhir, sebagai persiapan kemajuan digitalisasi, KH. Mas’ud Adnan berpesan untuk selalu berhati-hati ketika bergelut di dunia digital. Selalu memanfaatkan potensi lokal, lebih selektif, inovatif, maupun kreatif dalam bermedia. Karena media merupakan pintu pertama dunia digitalisasi.

“Sekarang ini gencarnya transformasi digital, karena terkena dogma mengenai 2030 akan beralih ke digital. Ini akan sangat berbahaya kalau kita tidak berhati-hati. Selalu memanfaatkan potensi-potensi lokal, contoh kemandirian pesantren harus kuat, sama dengan medianya. Tapi jangan lupa, kita harus bertanya menawarkan sharing-sharing untuk memajukan medianya masing-masing,” pungkasnya.